بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم

19 Oktober 2010

Haji: Manusia Sejati

Oleh: KH. Jalaluddin Rakhmat

Arafah, sembilan Dzulhijjah, pada paruh kedua abad pertama Hijrah. Ratusan ribu kaum muslimin berkumpul di sekitar Jabal Rahmah, bukit kasih-sayang. Segera setelah tergelincir matahari, terdengar gemuruh suara zikir dan doa. Ali bin Husain bertanya kepada Zuhri: "Berapa kira-kira orang yang wuquf di sini?" Zuhri menjawab: "Saya perkirakan ada empat atau lima ratus ribu orang. Semuanya haji, menuju Allah dengan harta mereka dan memanggil-Nya dengan teriakan mereka." Ali bin Husain berkata: "Hai Zuhri, sedikit sekali yang haji dan banyak sekali teriakan."

Zuhri keheranan: "Semuanya itu haji, apakah itu sedikit?" Ali menyuruh Zuhri mendekatkan wajahnya kepadanya. Ia mengusap wajahnya dan menyuruhnya melihat ke sekelilingnya. Ia terkejut. Kini ia melihat monyet-monyet berkeliaran dengan menjerit-jerit.  Hanya sedikit manusia di antara kerumunan monyet. Ali mengusap wajah Zuhri kedua kalinya. Ia menyaksikan babi-babi dan sedikit sekali manusia. Pada kali yang ketiga, ia mengamati banyaknya serigala dan sedikitnya manusia. Zuhri berkata: "Bukti-buktimu membuat aku takut. Keajaibanmu membuat aku ngeri." (Al-Hajj fi Al-Kitab wa Al-Sunnah)

Berkat sentuhan orang yang saleh, Zuhri dapat melihat, walaupun sejenak, ke balik tubuh-tubuh mereka yang wuquf di Arafah. Tuhan menyingkapkan tirai material dan pandangannya menjadi sangat tajam. Ia terkejut dan kebingungan karena begitu banyaknya  orang yang tampak pada mata lahir sebagai manusia, dan pada mata batin sebagai binatang. Apakah kebanyakan kita hanyalah manusia secara majazi (kiasan) dan binatang secara hakiki?.

Ibadah haji adalah perjalanan manusia untuk kembali kepada fitrah kemanusiaannya. Kehidupan telah melemparkan kita dari kemanusiaan kita. Kita telah jatuh menjadi makhluk yang lebih rendah. Alih-alih menjadi khalifah Allah, kita telah menjadi monyet, babi, dan serigala.

Ketika menafsirkan firman Tuhan: Sungguh, telah Kami ciptakan manusia dalam susunan yang paling baik. Kemudian, Kami mengembalikan mereka pada yang paling rendah dari yang rendah. (QS. Al-Tin; 4-5), Seyyed Hossein Nasr menulis: "Manusia diciptakan dalam susunan yang terbaik. Tetapi kemudian, ia jatuh pada kondisi bumi berupa perpisahan dan keterjauhan dari asal-usulnya yang ilahiah." (Sufi Essays)    

Dalam bahasa Jalaluddin Rumi, kita adalah seruling bambu yang tercerabut dari rumpunnya. Ketika suara keluar, yang terdengar adalah jeritan pilu, dari pecahan bambu yang  ingin kembali ke rumpunnya yang semula. Kita hanya akan hidup sebagai bambu yang sejati bila kita kembali ke tempat awal kita. Kita hanya akan menjadi manusia lagi, bila kita kembali kepada Allah. Sesungguhnya kita kepunyaan Allah dan kepada-Nya kita kembali. (QS. Al-Baqarah; 156)

Para jemaah haji adalah kafilah  seruling yang ingin kembali ke rumpun abadinya. Inilah rombongan binatang yang ingin kembali menjadi manusia. Ketika sampai di Miqat, mereka harus menanggalkan segala sifat kebinatangannya.  Seperti ular, mereka harus mencampakkan kulit yang lama agar menjalani kehidupan yang baru. Baju-baju kebesaran, yang sering dipergunakan untuk mempertontonkan kepongahan, harus dilepaskan. Lambang-lambang status, yang sering dipakai untuk memperoleh perlakuan istimewa, harus dikuburkan dalam lubang  bumi. Sebagai gantinya, mereka memakai kain kafan, pakaian seragam yang akan dibawanya nanti ketika  kembali ke "kampung halaman".

Di Miqat, jemaah haji menanggalkan intrik-intrik monyet, kerakusan babi, dan kepongahan serigala. Mereka harus menjadi manusia lagi. Manusia ialah makhluk yang secara potensial mampu menyerap seluruh asma Allah. Di Miqat, setelah membersihkan diri dari kotoran-kotoran masa lalunya, seorang haji keluar lagi seperti anak kecil yang baru dikeluarkan dari perut ibunya. Suci dan telanjang. Perlahan-lahan ia mengenakan pakaian kesucian, kejujuran, kerendahan hati, dan pengabdian. Dengan wajah yang diarahkan ke Rumah Tuhan,  dengan hati yang sudah dibersihkan dengan taubat yang tulus, ia  berkata: "Ya Allah, aku datang memenuhi panggilanMu."

Di Rumah Tuhan, para haji memperbaharui baiat mereka dengan mencium Hajar Aswad.  Mereka berputar bersama para malaikat di sekitar Arasy, menandakan  keterikatan kemanusiaan mereka dengan  Ketuhanan. Di Arafah, seruling-seruling itu sudah menyatu dengan rumpun bambunya. Al-Hajju 'Arafah. Di Arafah itulah haji. Di situlah  bergabung semua manusia dalam kedalaman lautan ketunggalan Tuhan, fî lujjati bahri ahâdiyyatih.

Berapa banyakkah di antara jutaan orang yang beruntung dapat berhimpun di Arafah adalah haji, manusia yang sudah kembali kepada Tuhannya?  Berapa besarkah di antara mereka yang kumpul di Arafah tahun ini yang sudah meninggalkan selama-lamanya sifat-sifat kebinatangannya dan sebagai gantinya menyerap rahman-rahimnya Allah? Kita tidak tahu. 

Dahulu, ketika  umat Islam masih belum mendunia, hanya sedikit yang haji. Dalam pandangan Zuhri, kebanyakan masih bertahan dalam kebinatangan mereka. Kini, kita berdoa, mudah-mudahan mereka semua menjadi haji yang mabrur. Artinya, manusia sejati yang tubuhnya menapak di bumi tapi ruhnya bergantung ke Arasy Tuhan.

Ketika mereka kembali ke tanah airnya, mudah-mudahan mereka menyebarkan berkat ke sekitarnya. Ketulusan hati mereka menusuk jantung orang-orang munafik. Air Zamzam yang mereka bawa menjadi tetes-tetes mukjizat yang mengubah monyet yang licik menjadi manusia yang jujur. Kesucian batin mereka menghantam kepala para pecinta dunia. Air mata mereka keluar membersihkan babi-babi yang serakah dan mengubahnya menjadi manusia yang dermawan. Akhirnya, kerendahan hati mereka menghantam kepala para tiran pemuja kekuasaan.  Cahaya wajah yang sudah disinari Ka'bah mematahkan leher serigala yang pongah dan mengubahnya menjadi manusia  yang  penuh kearifan dan kasih sayang.

Betapa perlunya negeri ini dengan kehadiran para haji, khususnya haji yang mabrur. Betapa perlunya negeri ini memiliki Pemimpin, Anggota Dewan, Menteri2, Dirjen2, Sekjen2, Jenderal2, Gubernur2, Bupati2, Walikota2, Camat2, Lurah2 dll yang telah berhaji dan mabrur hajinya, sehingga murni yang ia kerjakan sepulang haji adalah untuk kepentingan rakyatnya dan tidak lagi melakukan Korupsi , kolusi dan manipulasi.

Betapa perlunya negeri ini memiliki Hakim Agung, Jaksa Agung, Kapolri, Kajati, Kapolda, Hakim2 Pengadilan Negeri dan Polisi2 Penyidik, Polisi Lalu Lintas, Pejabat2 Bea cukai, Pejabat2 Pajak, Pemeriksa2 Keuangan dll yang telah berhaji dan mabrur hajinya, sehingga murni yang ia kerjakan sepulang haji adalah untuk kepentingan rakyatnya dan tidak lagi melakukan Korupsi, kolusi dan manipulasi serta menegakkan keadilan dan kebenaran dengan seadil-adilnya dan sebenar-benarnya lillahita'ala.

Betapa perlunya negeri ini memiliki Kyai, Ustadz, Habaib, Da'i2 yang telah berhaji dan mabrur hajinya, sehingga murni yang ia kerjakan sepulang haji adalah bekerja nyata untuk kepentingan ummat,,  tidak saling menyalahkan, tidak saling mengkafirkan, tidak saling membid'ahkan, tidak menghalalkan kekerasan dan mendorong kesatuan dan persaudaraan ummat Islam dan dengan ummat-ummat lainnya.

Betapa perlunya negeri ini memiliki Rektor2, Dosen2, Kepala2 Sekolah, Guru2 yang telah berhaji dan mabrur hajinya, sehingga murni yang ia kerjakan sepulang haji adalah mencerdaskan anak Bangsa agar bisa bersaing di kancah Internasional dan dapat mempercepat pembangunan manusia Indonesia menjadi lebih baik dan soleh2.

Betapa perlunya negeri ini memiliki Pengusaha2, Direktur2 dan Komisaris2 BUMN dan Swasta, Manajer2, Staf2  yang telah berhaji dan mabrur hajinya, sehingga murni yang ia kerjakan sepulang haji adalah meningkatkan produktivitas dan profesionalisme dfalam pekerjaannya dan tidak mau diajak kongkalikong, merubah data2, korupsi dankolusi, manipulasi dan nepotisme

Wallahualam bissawab.

Sumber: facebook.com