Sastra
Oleh: Donie K Malik*
Saat langkah kakinya menginjak lantai mal mewah itu, Prabu terkejut. Mal itu tidak seperti apa yang dia lihat sebulan lalu saat terakhir kali berkunjung. Pada waktu itu, dia masih bisa memandang deretan outlet di dalam mal yang berjejer rapi, lengkap dengan barang yang dipajang dalam etalase. Departement store di lantai dua, bioskop megah di lantai tiga, dan deretan restoran di lantai empat pun sirna. Yang dia temui kini hanyalah deretan counter dengan tempat deposit di dalamnya dan papan neon box informasi yang bertuliskan: PENITIPAN NURANI.
Penitipan nurani? Untuk apa penitipan nurani? Prabu bertanya-tanya dalam hati. Bukankah selama ini penitipan yang ada di mal hanyalah penitipan barang. Mengapa kini semua isi oultet di mal ini berubah menjadi penitipan nurani.
Mata Prabu menyapu orang-orang yang mendatangi penitipan nurani itu. Beragam orang bisa dijumpai. Bahkan, dia melihat public figure yang sering muncul di televisi sedang sibuk menitipkan nuraninya. Karena penasaran dengan pemandangan baru itu, Prabu mencoba bertanya kepada seorang petugas cleaning service yang saat itu sedang sibuk mengepel lantai di tengah hiruk pikuk orang mengantre untuk menitipkan nuraninya.
"Mas, bisa ngobrol sebentar?"
Seketika petugas cleaning service itu langsung menghentikan aktivitasnya dan menatap ke arah Prabu. "Ngobrol apah Pak?" jawabnya dengan logat sunda.
"Penitipan nurani!"
Petugas cleaning service itu ragu-ragu menjawab. Namun, setelah dibujuk Prabu, akhirnya dia mengiyakan. "Tapi jangan di sini," kata petugas cleaning service, yang kemudian mengajak Prabu ke ruang istirahatnya.
"Sejak kapan Kang ada penitipan nurani di mal ini?" Prabu membuka pertanyaan.
"Sebulan lalu Pak. Sejak harga BBM dan harga sembako naik."
"Memangnya untuk apa, kok nurani sampai dititipkan?" tanya Prabu penasaran.
"Ya untuk menutupi perilaku asli orang yang menitipkan nuraninya."
"Maksud Akang?"
"Bapak tahu kan keadaan sekarang sedang susah. Harga-harga kebutuhan pokok juga pada mahal, apalagi setelah kenaikan BBM dan sembako. Makin banyak ajah orang yang berperilaku menyimpang. Makanya, orang yang mau berperilaku menyimpang, sebelumnya menitipkan nuraninya dulu di sini."
"Oh..." Prabu terkejut. "Berapa biaya sewanya Kang?"
"Beda-beda Pak. Sesuai dengan tingkat status sosialnya. Kalau rakyat biasa, yah nggak terlalu mahal, tapi kalau orang kaya bisa sampai jutaan."
"Memangnya tidak pernah dirazia?"
Petugas cleaning service itu tertawa pendek. "Petugas yang berseragam saja banyak yang terang-terangan menitipkan nuraninya di sini Pak."
Prabu benar-benar kaget dengan ucapan Katna. Nama petugas cleaning service itu, lengkapnya Sukatna. Panggil saya Katna saja Pak, katanya pada Prabu. Saat mereka tenggelam dalam perbincangan, tiba-tiba terdengar bunyi nyaring alarm dari dalam mal. Sungguh bising. Prabu dan Katna tersentak mendengarnya.
"Suara apa itu Kang Katna?" tanya Prabu.
Katna langsung bangun dari kursi. "Itu bunyi alarm kebakaran! Sebaiknya kita segera keluar Pak!"
Prabu dan Katna langsung keluar dari ruangan itu menuju lobi mal. Saat itu, seisi mal sudah dikepung asap. Sekumpulan orang yang sedang menitipkan nurani berhamburan mencari pintu keluar. Seorang laki-laki paruh baya mengerang kepanasan karena jas yang dikenakan hampir seluruhnya terbakar terkena jilatan api. Sepertinya Prabu mengenal orang itu. Wajahnya kemarin muncul di headline koran. Kasus penggelapan pajak.
Api merambat cukup cepat disertai dengan kepulan asap tebal. Kondisi itu menyulitkan pengunjung mal untuk menyelamatkan diri. Bau gosong daging manusia mulai menyengat. Sepertinya ada yang terpanggang.
Prabu mencoba berlari dan mencari jalan keluar mengikuti langkah kaki Katna. Namun apa daya, karena asapnya tebal, pandangan Prabu menjadi terhalang. Dia kehilangan jejak Katna. Secara samar, Prabu melihat reruntuhan dari langit-langit mal. Dia mencoba menghindar. Namun, karena kakinya tersandung, reruntuhan itu akhirnya menimpa tubuhnya.
"Bangun Prabu!" suara lembut membuyarkan semua adegan itu.
Prabu kaget. Retina matanya terbuka. Warna dunia masih samar-samar. Perlahan-lahan sinar terang masuk ke iris matanya. Dia tersadar. Kemudian, menatap jam dinding yang menempel kuat di atas tembok depan tempat tidurnya.
"Setengah delapan! Telat!"
"Kamu baru bangun Nak, memang cuti kerja?" tanya ibunya yang masih duduk di samping tempat tidur.
"Tidak, tidak Bu. Prabu kerja. Prabu mimpi. Baru saja mimpi buruk!"
Wajah sang ibu berubah penuh tanya. Penasaran. "Mimpi apa Nak?"
"Nanti saja Bu. Pulang kerja Prabu ceritakan. Prabu sudah telat!"
Jam 9 pagi. Gedung kantor berlantai 25 itu berdiri angkuh di tengah Ibu Kota yang sudah semakin tua disesaki jutaan manusia dan ribuan kendaraan. Hari itu, Prabu telat masuk kerja. Sudah 3 tahun dia bekerja di perusahaan tambang batu bara itu, namun baru kali ini dia telat satu jam. Padahal, dia telah memasang alarm beker di kamar tepat jam 5 pagi, tapi mengapa tadi seakan dia tidak mendengar apa-apa. Apa ini karena mimpi buruk dalam tidurnya.
"Pak Prabu!" suara khas seorang perempuan terdengar memanggil.
"Iya, ada apa Mbak Olive?"
"Bapak dipanggil Pak Oemar, diminta ke ruangannya," ujar perempuan muda berambut pendek yang merupakan sekretaris direktur.
Prabu mengernyitkan dahi. "Pak Oemar, tidak salah beliau memanggil saya?"
"Tidak, Pak direktur memang memanggil Bapak."
"Oh, terima kasih kalo begitu. Nanti saya segera ke ruangan beliau."
Pikiran Prabu menerka-nerka. Tidak biasanya sang direktur memanggilnya. Kalaupun ada pesan yang ingin disampaikan direktur kepadanya, selalu melalui manajer. Mengapa tiba-tiba pagi itu dirinya dipanggil. Raut wajah Prabu berubah tegang seakan mengalami kecemasan yang dalam. Dia berpikir apa karena telat satu jam pagi ini, makanya direktur memanggilnya.
"Silakan duduk!" ujar direktur berkepala plontos itu. Alis matanya yang tebal menguatkan bentuk wajahnya yang tajam.
"Ada apa Pak? Tidak biasanya saya dipanggil ke ruangan Bapak. Apa ada yang salah dengan pekerjaan yang saya lakukan?"
Sang direktur tertawa kecut. "Oh tidak, tidak! Bukan itu! Justru saya memanggil kamu karena menurut laporan HRD, kamu adalah karyawan yang paling teladan di kantor ini."
"Maksud Bapak? saya tidak mengerti."
"Iya! karena kamu karyawan teladan makanya kamu saya panggil. Hari ini, saya ingin mengatakan sesuatu yang penting pada kamu!"
"Hal penting apa Pak?"
Mata sang direktur liar. Pandangannya tak bisa diam. Sesekali mengangguk-angguk. "Prestasi kamu di kantor ini baik," ujarnya pendek. "Dan saya lihat juga posisi kamu sebagai staf keuangan juga bagus. Makanya, kami rasa kamu patut diberi apresiasi. Ya, seperti yang kamu ketahui kalau perusahaan kita sedang membutuhkan manajer keuangan, saya pikir kelihatannya kamu cocok untuk mengisinya?"
Bola mata Prabu yang dibingkai kacamata kotak mendakak terpana. Mukanya merah muda. "Apa saya tidak salah dengar Pak. Saya kan bekerja di kantor ini baru 3 tahun. Apa layak bila menjabat posisi manajer. Bukannya untuk menjadi manajer di kantor ini minimal masa kerjanya 5 tahun. Dan saya rasa masih banyak karyawan yang lebih senior daripada saya," kata Prabu merendah.
"Iya ... memang kita sempat berpikir seperti itu. Mmm.. tapi dibanding kualitas dan loyalitas kamu yang sangat baik, kita tidak mempermasalahkan masa kerja kamu," jelas sang direktur.
Prabu resmi menjadi manajer. Hari itu wajahnya penuh bunga. Dia pulang ke rumah dengan aura bahagia. Ibunya ikut terharu. Tapi, di balik rasa sukacitanya, pikiran Prabu masih dibayangi akan mimpi buruknya tadi malam. Mimpi tentang sebuah penitipan nurani yang tragis. Sebuah mimpi yang menurutnya pertanda buruk. Mirip seperti ketika ayahnya akan wafat. Dia terlebih dahulu diberi pertanda buruk lewat mimpinya.
Satu bulan setelah menduduki posisi manajer, mimpi buruknya akhirnya datang. Saat itu, Prabu diberi tugas oleh direkturnya untuk menjadi negosiator pajak perusahaan. Dia bertugas menemui pihak dari petugas pajak untuk melakukan negosiasi keringanan pajak. Itu berarti dia harus melobi dan menyuap petugas pajak agar kewajiban pajak perusahaannya tidak membengkak. Perintah dari direkturnya itu bagai petir di siang bolong. Direkturnya mengancam akan memecatnya bila tidak mampu melaksanakannya.
Pikiran Prabu dipenuhi kekalutan yang mendalam. Terlintas bayang-bayang wajah ibunya, almarhum bapaknya, dan kedua adiknya, serta terlintas bayangan mimpi buruknya yang sarat makna. Dilema hidup sungguh menusuk jantungnya. Dia berpikir jika menuruti perintah atasannya, sama saja dia telah melakukan tindakan korupsi dan kolusi. Jabatan yang diembannya juga akan sia-sia karena tak berkah dan tentunya sebuah dosa besar.
Namun di sisi lain, bila tidak melaksanakan tugas dari direkturnya, berarti dia akan kehilangan pekerjaannya sebagai manajer. Di mana fasilitas yang didapatnya seperti gaji besar, mobil, karier akan lenyap semua. Dia juga berpikir dari mana biaya untuk menghidupi ibu dan biaya sekolah kedua adiknya bila tidak lagi bekerja. Sejak ayahnya meninggal 4 tahun lalu, Prabulah yang menjadi tulang punggung keluarganya.
"Begitulah Bu, ceritanya. Prabu ingin minta pendapat dari Ibu. Menurut Ibu apa yang harus Prabu lakukan?" Malam itu Prabu menjelaskan semua kepada ibunya tentang tugas yang diberikan oleh atasannya itu.
"Jangan Nak, jangan kamu lakukan perintah itu! Itu sebuah perbuatan tercela, dosa besar! Biarlah kita hidup sederhana asal berkah, daripada hidup dengan jabatan tinggi, tapi tidak terpuji. Kamu sudah punya bekal ilmu dan pendidikan, lebih baik cari pekerjaan di tempat lain. Rezeki pasti tidak akan hilang asalkan kita tetap berusaha. Tuhan tidak tidur Nak!" jawab sang ibu.
Perkataan ibunya memberi api semangat. Prabu semakin mantap untuk menolak tugas atasannya. Dia memilih keluar dari pekerjaannya secara terhormat dibanding harus mengingkari hati nurani dengan melakukan pelanggaran hukum. Dia merasa lega dengan sikap yang diambilnya walaupun harus berisiko besar kehilangan pekerjaan.
Sebulan sudah Prabu di rumah menjadi pengangguran. Hari-harinya dihabiskan dengan membaca info lowongan pekerjaan di halaman koran. Namun, hari-hari itu memang bukan hari yang mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Tabungan di rekeningnya pun semakin menipis. Walau keadaan begitu, ibunya terus membesarkan hati Prabu agar tidak patah semangat.
Hingga suatu hari, datang seorang tamu yang tak asing bagi Prabu ke rumahnya. Tamu itu adalah mantan manajernya, Pak Darma. Pak Darma rupanya telah mengetahui kalau Prabu sudah tidak bekerja. Dia kemudian menjelaskan pada Prabu bila dirinya juga dulu mengalami nasib yang sama. Dia pun waktu itu diperintah sang direktur untuk meringankan pajak perusahaan dengan jalan lobi dan suap. Pak Darma menolak dan akhirnya dipecat.
Namun, Pak Darma beruntung karena mempunyai modal untuk mendirikan perusahaan. Dan kini perusahaan yang bangunnya sudah mulai berkembang. Karena dianggap sebagai orang jujur, Pak Darma akhirnya menawari Prabu pekerjaan sebagai direktur keuangan di perusahaan yang dipimpinnya. Mata Prabu berkaca-kaca mendengar berita baik itu, mungkinkah ini jawaban Tuhan atas doa dan keteguhan hati yang dijalaninya selama ini. Senyum kebahagiaan itu kini hadir kembali menjawab kekalutan yang sempat menghantui. Keyakinan akan mimpi indah akhirnya datang setelah melawan jalan cerita mimpi buruk.
"Prabu..!" Ibunya memanggil di Minggu pagi.
"Iya Bu, ada apa!" sahut Prabu.
"Cepat ke sini..!"
"Iya Bu, tunggu sebentar!" jawab Prabu sambil menghentikan siraman air ke pot bunga di taman rumahnya.
"Sini cepat, nanti keburu terlewat!"
Prabu melangkahkan kakinya cepat, ia penasaran dengan maksud panggilan ibunya itu. "Ada apa Bu?"
"Lihat berita di TV itu!"
Oleh: Donie K Malik*
Saat langkah kakinya menginjak lantai mal mewah itu, Prabu terkejut. Mal itu tidak seperti apa yang dia lihat sebulan lalu saat terakhir kali berkunjung. Pada waktu itu, dia masih bisa memandang deretan outlet di dalam mal yang berjejer rapi, lengkap dengan barang yang dipajang dalam etalase. Departement store di lantai dua, bioskop megah di lantai tiga, dan deretan restoran di lantai empat pun sirna. Yang dia temui kini hanyalah deretan counter dengan tempat deposit di dalamnya dan papan neon box informasi yang bertuliskan: PENITIPAN NURANI.
Penitipan nurani? Untuk apa penitipan nurani? Prabu bertanya-tanya dalam hati. Bukankah selama ini penitipan yang ada di mal hanyalah penitipan barang. Mengapa kini semua isi oultet di mal ini berubah menjadi penitipan nurani.
Mata Prabu menyapu orang-orang yang mendatangi penitipan nurani itu. Beragam orang bisa dijumpai. Bahkan, dia melihat public figure yang sering muncul di televisi sedang sibuk menitipkan nuraninya. Karena penasaran dengan pemandangan baru itu, Prabu mencoba bertanya kepada seorang petugas cleaning service yang saat itu sedang sibuk mengepel lantai di tengah hiruk pikuk orang mengantre untuk menitipkan nuraninya.
"Mas, bisa ngobrol sebentar?"
Seketika petugas cleaning service itu langsung menghentikan aktivitasnya dan menatap ke arah Prabu. "Ngobrol apah Pak?" jawabnya dengan logat sunda.
"Penitipan nurani!"
Petugas cleaning service itu ragu-ragu menjawab. Namun, setelah dibujuk Prabu, akhirnya dia mengiyakan. "Tapi jangan di sini," kata petugas cleaning service, yang kemudian mengajak Prabu ke ruang istirahatnya.
"Sejak kapan Kang ada penitipan nurani di mal ini?" Prabu membuka pertanyaan.
"Sebulan lalu Pak. Sejak harga BBM dan harga sembako naik."
"Memangnya untuk apa, kok nurani sampai dititipkan?" tanya Prabu penasaran.
"Ya untuk menutupi perilaku asli orang yang menitipkan nuraninya."
"Maksud Akang?"
"Bapak tahu kan keadaan sekarang sedang susah. Harga-harga kebutuhan pokok juga pada mahal, apalagi setelah kenaikan BBM dan sembako. Makin banyak ajah orang yang berperilaku menyimpang. Makanya, orang yang mau berperilaku menyimpang, sebelumnya menitipkan nuraninya dulu di sini."
"Oh..." Prabu terkejut. "Berapa biaya sewanya Kang?"
"Beda-beda Pak. Sesuai dengan tingkat status sosialnya. Kalau rakyat biasa, yah nggak terlalu mahal, tapi kalau orang kaya bisa sampai jutaan."
"Memangnya tidak pernah dirazia?"
Petugas cleaning service itu tertawa pendek. "Petugas yang berseragam saja banyak yang terang-terangan menitipkan nuraninya di sini Pak."
Prabu benar-benar kaget dengan ucapan Katna. Nama petugas cleaning service itu, lengkapnya Sukatna. Panggil saya Katna saja Pak, katanya pada Prabu. Saat mereka tenggelam dalam perbincangan, tiba-tiba terdengar bunyi nyaring alarm dari dalam mal. Sungguh bising. Prabu dan Katna tersentak mendengarnya.
"Suara apa itu Kang Katna?" tanya Prabu.
Katna langsung bangun dari kursi. "Itu bunyi alarm kebakaran! Sebaiknya kita segera keluar Pak!"
Prabu dan Katna langsung keluar dari ruangan itu menuju lobi mal. Saat itu, seisi mal sudah dikepung asap. Sekumpulan orang yang sedang menitipkan nurani berhamburan mencari pintu keluar. Seorang laki-laki paruh baya mengerang kepanasan karena jas yang dikenakan hampir seluruhnya terbakar terkena jilatan api. Sepertinya Prabu mengenal orang itu. Wajahnya kemarin muncul di headline koran. Kasus penggelapan pajak.
Api merambat cukup cepat disertai dengan kepulan asap tebal. Kondisi itu menyulitkan pengunjung mal untuk menyelamatkan diri. Bau gosong daging manusia mulai menyengat. Sepertinya ada yang terpanggang.
Prabu mencoba berlari dan mencari jalan keluar mengikuti langkah kaki Katna. Namun apa daya, karena asapnya tebal, pandangan Prabu menjadi terhalang. Dia kehilangan jejak Katna. Secara samar, Prabu melihat reruntuhan dari langit-langit mal. Dia mencoba menghindar. Namun, karena kakinya tersandung, reruntuhan itu akhirnya menimpa tubuhnya.
"Bangun Prabu!" suara lembut membuyarkan semua adegan itu.
Prabu kaget. Retina matanya terbuka. Warna dunia masih samar-samar. Perlahan-lahan sinar terang masuk ke iris matanya. Dia tersadar. Kemudian, menatap jam dinding yang menempel kuat di atas tembok depan tempat tidurnya.
"Setengah delapan! Telat!"
"Kamu baru bangun Nak, memang cuti kerja?" tanya ibunya yang masih duduk di samping tempat tidur.
"Tidak, tidak Bu. Prabu kerja. Prabu mimpi. Baru saja mimpi buruk!"
Wajah sang ibu berubah penuh tanya. Penasaran. "Mimpi apa Nak?"
"Nanti saja Bu. Pulang kerja Prabu ceritakan. Prabu sudah telat!"
Jam 9 pagi. Gedung kantor berlantai 25 itu berdiri angkuh di tengah Ibu Kota yang sudah semakin tua disesaki jutaan manusia dan ribuan kendaraan. Hari itu, Prabu telat masuk kerja. Sudah 3 tahun dia bekerja di perusahaan tambang batu bara itu, namun baru kali ini dia telat satu jam. Padahal, dia telah memasang alarm beker di kamar tepat jam 5 pagi, tapi mengapa tadi seakan dia tidak mendengar apa-apa. Apa ini karena mimpi buruk dalam tidurnya.
"Pak Prabu!" suara khas seorang perempuan terdengar memanggil.
"Iya, ada apa Mbak Olive?"
"Bapak dipanggil Pak Oemar, diminta ke ruangannya," ujar perempuan muda berambut pendek yang merupakan sekretaris direktur.
Prabu mengernyitkan dahi. "Pak Oemar, tidak salah beliau memanggil saya?"
"Tidak, Pak direktur memang memanggil Bapak."
"Oh, terima kasih kalo begitu. Nanti saya segera ke ruangan beliau."
Pikiran Prabu menerka-nerka. Tidak biasanya sang direktur memanggilnya. Kalaupun ada pesan yang ingin disampaikan direktur kepadanya, selalu melalui manajer. Mengapa tiba-tiba pagi itu dirinya dipanggil. Raut wajah Prabu berubah tegang seakan mengalami kecemasan yang dalam. Dia berpikir apa karena telat satu jam pagi ini, makanya direktur memanggilnya.
"Silakan duduk!" ujar direktur berkepala plontos itu. Alis matanya yang tebal menguatkan bentuk wajahnya yang tajam.
"Ada apa Pak? Tidak biasanya saya dipanggil ke ruangan Bapak. Apa ada yang salah dengan pekerjaan yang saya lakukan?"
Sang direktur tertawa kecut. "Oh tidak, tidak! Bukan itu! Justru saya memanggil kamu karena menurut laporan HRD, kamu adalah karyawan yang paling teladan di kantor ini."
"Maksud Bapak? saya tidak mengerti."
"Iya! karena kamu karyawan teladan makanya kamu saya panggil. Hari ini, saya ingin mengatakan sesuatu yang penting pada kamu!"
"Hal penting apa Pak?"
Mata sang direktur liar. Pandangannya tak bisa diam. Sesekali mengangguk-angguk. "Prestasi kamu di kantor ini baik," ujarnya pendek. "Dan saya lihat juga posisi kamu sebagai staf keuangan juga bagus. Makanya, kami rasa kamu patut diberi apresiasi. Ya, seperti yang kamu ketahui kalau perusahaan kita sedang membutuhkan manajer keuangan, saya pikir kelihatannya kamu cocok untuk mengisinya?"
Bola mata Prabu yang dibingkai kacamata kotak mendakak terpana. Mukanya merah muda. "Apa saya tidak salah dengar Pak. Saya kan bekerja di kantor ini baru 3 tahun. Apa layak bila menjabat posisi manajer. Bukannya untuk menjadi manajer di kantor ini minimal masa kerjanya 5 tahun. Dan saya rasa masih banyak karyawan yang lebih senior daripada saya," kata Prabu merendah.
"Iya ... memang kita sempat berpikir seperti itu. Mmm.. tapi dibanding kualitas dan loyalitas kamu yang sangat baik, kita tidak mempermasalahkan masa kerja kamu," jelas sang direktur.
Prabu resmi menjadi manajer. Hari itu wajahnya penuh bunga. Dia pulang ke rumah dengan aura bahagia. Ibunya ikut terharu. Tapi, di balik rasa sukacitanya, pikiran Prabu masih dibayangi akan mimpi buruknya tadi malam. Mimpi tentang sebuah penitipan nurani yang tragis. Sebuah mimpi yang menurutnya pertanda buruk. Mirip seperti ketika ayahnya akan wafat. Dia terlebih dahulu diberi pertanda buruk lewat mimpinya.
Satu bulan setelah menduduki posisi manajer, mimpi buruknya akhirnya datang. Saat itu, Prabu diberi tugas oleh direkturnya untuk menjadi negosiator pajak perusahaan. Dia bertugas menemui pihak dari petugas pajak untuk melakukan negosiasi keringanan pajak. Itu berarti dia harus melobi dan menyuap petugas pajak agar kewajiban pajak perusahaannya tidak membengkak. Perintah dari direkturnya itu bagai petir di siang bolong. Direkturnya mengancam akan memecatnya bila tidak mampu melaksanakannya.
Pikiran Prabu dipenuhi kekalutan yang mendalam. Terlintas bayang-bayang wajah ibunya, almarhum bapaknya, dan kedua adiknya, serta terlintas bayangan mimpi buruknya yang sarat makna. Dilema hidup sungguh menusuk jantungnya. Dia berpikir jika menuruti perintah atasannya, sama saja dia telah melakukan tindakan korupsi dan kolusi. Jabatan yang diembannya juga akan sia-sia karena tak berkah dan tentunya sebuah dosa besar.
Namun di sisi lain, bila tidak melaksanakan tugas dari direkturnya, berarti dia akan kehilangan pekerjaannya sebagai manajer. Di mana fasilitas yang didapatnya seperti gaji besar, mobil, karier akan lenyap semua. Dia juga berpikir dari mana biaya untuk menghidupi ibu dan biaya sekolah kedua adiknya bila tidak lagi bekerja. Sejak ayahnya meninggal 4 tahun lalu, Prabulah yang menjadi tulang punggung keluarganya.
"Begitulah Bu, ceritanya. Prabu ingin minta pendapat dari Ibu. Menurut Ibu apa yang harus Prabu lakukan?" Malam itu Prabu menjelaskan semua kepada ibunya tentang tugas yang diberikan oleh atasannya itu.
"Jangan Nak, jangan kamu lakukan perintah itu! Itu sebuah perbuatan tercela, dosa besar! Biarlah kita hidup sederhana asal berkah, daripada hidup dengan jabatan tinggi, tapi tidak terpuji. Kamu sudah punya bekal ilmu dan pendidikan, lebih baik cari pekerjaan di tempat lain. Rezeki pasti tidak akan hilang asalkan kita tetap berusaha. Tuhan tidak tidur Nak!" jawab sang ibu.
Perkataan ibunya memberi api semangat. Prabu semakin mantap untuk menolak tugas atasannya. Dia memilih keluar dari pekerjaannya secara terhormat dibanding harus mengingkari hati nurani dengan melakukan pelanggaran hukum. Dia merasa lega dengan sikap yang diambilnya walaupun harus berisiko besar kehilangan pekerjaan.
Sebulan sudah Prabu di rumah menjadi pengangguran. Hari-harinya dihabiskan dengan membaca info lowongan pekerjaan di halaman koran. Namun, hari-hari itu memang bukan hari yang mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Tabungan di rekeningnya pun semakin menipis. Walau keadaan begitu, ibunya terus membesarkan hati Prabu agar tidak patah semangat.
Hingga suatu hari, datang seorang tamu yang tak asing bagi Prabu ke rumahnya. Tamu itu adalah mantan manajernya, Pak Darma. Pak Darma rupanya telah mengetahui kalau Prabu sudah tidak bekerja. Dia kemudian menjelaskan pada Prabu bila dirinya juga dulu mengalami nasib yang sama. Dia pun waktu itu diperintah sang direktur untuk meringankan pajak perusahaan dengan jalan lobi dan suap. Pak Darma menolak dan akhirnya dipecat.
Namun, Pak Darma beruntung karena mempunyai modal untuk mendirikan perusahaan. Dan kini perusahaan yang bangunnya sudah mulai berkembang. Karena dianggap sebagai orang jujur, Pak Darma akhirnya menawari Prabu pekerjaan sebagai direktur keuangan di perusahaan yang dipimpinnya. Mata Prabu berkaca-kaca mendengar berita baik itu, mungkinkah ini jawaban Tuhan atas doa dan keteguhan hati yang dijalaninya selama ini. Senyum kebahagiaan itu kini hadir kembali menjawab kekalutan yang sempat menghantui. Keyakinan akan mimpi indah akhirnya datang setelah melawan jalan cerita mimpi buruk.
"Prabu..!" Ibunya memanggil di Minggu pagi.
"Iya Bu, ada apa!" sahut Prabu.
"Cepat ke sini..!"
"Iya Bu, tunggu sebentar!" jawab Prabu sambil menghentikan siraman air ke pot bunga di taman rumahnya.
"Sini cepat, nanti keburu terlewat!"
Prabu melangkahkan kakinya cepat, ia penasaran dengan maksud panggilan ibunya itu. "Ada apa Bu?"
"Lihat berita di TV itu!"
Di dalam tayangan itu, polisi sedang memboyong Oemar Sadad, mantan direkturnya di perusahaan tempatnya bekerja dulu. Oemar Sadad dijadikan sebagai tersangka kasus konspirasi penyuapan pajak negara bernilai miliaran rupiah.
Prabu tertegun.
*Cerpenis, pemerhati masalah sosial. Tinggal di Ciputat
**Sumber: Koran Republika